Kamis, 24 Februari 2011

Weekend with Oxygen

Two days ago I and my oxy friends swam at Tirta Agung Mas swimming pool. first time, we made a promise to gather in front of our school, exactly in new canteen beside gas station at 8.30am. But, someone between us missed information, and she came at 7.30am. She is Neysha, someone has a biggest body in Oxygen. Then Neysha called me to ask the real information because she was just alone at the place.


And then, Eza and Ganjar came together with a simple dress and bag. After that, Aga, Tarra, and Teira came. And the last, I came lately. We thought I was the last people who came late, but the fact was there was another person who came late. Yeah, it was Oka. The girl who has bad habbit. Late wherever the events hold.

15 minutes later, she came and we went to TAM swimming pool with public transportation soon. It took 17 minutes from school to swimming pool, then we bought some tickets and entered to TAM. We played happily in there. We rode slide, then we gave a challenge to Eza to tense up the slide. Eza initially didn’t dare, but after a long time he finally dared to slide from the slide.

We spent 2 hours to swam. Waw that’s so long time. And wow, it made my skin black! But at all, I was happy there with them. And after we took a bath there, we went back home tiredly.


source : Reyza's English exercise 

Sabtu, 12 Februari 2011

Untitled #3

*sebelumnya bisa dilihat di http://historylifeofoxygen.blogspot.com/2011/02/untitled-2.html



                London, Desember 2009..
               
                Atas saran Sevierre, aku kembali ke London meneruskan kuliahku. Rumahku yang di sini kujual, dan uangnya kupakai untuk biaya hidupku. Kini aku tinggal di sebuah rumah kecil yang benar-benar minimalis. Aku tak peduli.
                Aku merindukan Gabriel dan Mary. Setelah aku selesai memindahkan barang-barang ke rumah baruku, aku langsung menelepon mereka. Mereka memekik sangat girang, dan berjanji akan ke rumah baruku secepatnya.
                Kedatangan mereka membawa sedikit warna untukku. Mary membawa banyak cerita lucu yang bisa membuatku tertawa. Aku benar-benar merindukan mereka. Terutama Gabriel. Tawanya, senyumnya, matanya yang jenaka. Tuhan, aku benar-benar merindukan Gabriel Yamaguchi dan Mary Anoiselle.



                Tahun baru ini kulewatkan dengan merenung di kafe. Kuperhatikan banyak orang yang tertawa-tawa di luar maupun di dalam kafe. Aku berfikir, bagaimana jika esok masa hidup mereka habis? Bagaimana jika mereka pergi dengan tragis, seperti orangtuaku? Apa tawa ini masih mereka rasakan? Gembira ini?
                Kita tak pernah tahu.


               
Februari, 2009..

                “Sevierre, aku ingin menyelidiki siapa pembunuh Mom dan Dad.” Kataku suatu ketika saat makan siang di Deff’s Fish and Chips.
                Sevierre tampak bingung, “Untuk apa?”
                Aku mengangkat bahu, “Hanya ingin tahu.”
                “Lalu?”
                “Jika kutemukan siapa orangnya, aku janji, dia akan mendapat balasan yang setimpal. Aku akan minta bantuan Gabriel dan Mary. Mereka sudah kuberi tahu rencana ini.” Sahutku tegas.
                “Aku lelah mengurusi semua ini. Kenapa tak kau terima saja kenyataan ini? Orang tua kita telah meninggal. Lalu apa? Jangan hidup dalam fantasi, hiduplah dalam realita. Sudahlah, aku lelah membicarakan tentang kematian mereka.” Sevierre merengut dan meninggalkan kursi yang tadi didudukinya.
                Kursi itu kini kosong.
                Tunggu, apa itu?
                “Apa ini?” gumamku sambil mengambil kertas usang itu. Tertulis sebuah alamat email yang tak kukenal. Bukan alamat email Sevierre. Kuambil kertas itu, dan beranjak dari Deff’s Fish and Chips.




                Sementara itu di Plaza Hotel, seorang pria sedang berbicara pada seorang wanita di telepon.
                “Apa yang akan dia lakukan?” Tanya si pria.
                “Kurasa ia akan menyelidikinya,” jawab suara di telepon itu.
                “Dari mana kau tahu?”
                “Koneksiku banyak, kurasa kau tahu.”
                Pria itu menghisap cerutunya dalam-dalam, “Gagalkan dia.”
                “Tidak semudah itu. Akan mencurigakan jika aku menempel padanya seharian.”
                “Kau mengerti apa itu mata-mata tidak sih?” pria itu tampak kesal.
                “Ck. Jangan remehkan kemampuanku. Baiklah, kuusahakan semampuku.”
                “Bunuh dia.” Dan telepon ditutup.
                Tinggal wanita itu memegang teleponnya dalam diam.




                Sesampainya di rumah, aku langsung menyalakan laptopku. Kubuka account email Sevierre, ada beberapa email dari seseorang yang tak kukenal. Seseorang yang mempunyai alamat email seperti yang kupegang.
                Amora, Dear. Saat kedua lonceng berbunyi 4 kali di saat langit merah, kuda putih dan pangeran akan berlari menuju istana.
                Sebelum pangeran dan kuda putih kembali ke istana, bawalah raja dan ratu menuju kamar rahasia, berikanlah mereka panah terbaik. Teteskan air suci di tubuh mereka, agar mereka tenang di kamar rahasia. Cepatlah, jika kau terlambat, Tuhan mencabut nyawamu dan panah terbaik menusuk pedih sang pengelana.

                “Apa maksudnya?” tanyaku heran. Pangeran? Kuda putih? Apa maksud isi email ini?
Aku mendekatkan wajahku pada monitor, mencoba melihat apakah ada sandi tertentu di dalam kalimat-kalimat tersebut.
                Tak kurasakan seseorang mendekatiku. Tak juga kusadari keberadaannya saat ia memukulkan besi di tengkukku.
Mataku berkunang-kunang, seketika aku tersungkur.
Gelap.
                

Untitled #2

               *sebelumnya bisa diliat di http://historylifeofoxygen.blogspot.com/2011/02/untitled.html



               Aku menjerit sekeras-kerasnya, sampai kurasakan pita suaraku hampir putus. Kujatuhkan kepalaku di dada Gabriel yang juga ternganga melihat 3 sosok didepannya. Aku menangis, tangis sejadi-jadinya, tangis yang menyayat.


                “Cla..vel..” kudengar sama-sama suara. Kutolehkan pandanganku ke ruangan gelap di depanku. Sevierre. Masih hidup. Aku memekik kencang dan mendekatinya.
                “Gabriel, bantu aku!” perintahku pada Gabriel. Kupapah Sevierre hati-hati, berusah tidak memegang lukanya.
                “Mom.. Dad..” susah payah Sevierre bersuara.
                “Cukup Sev! Jangan bicara terlalu banyak! Gabriel, tunggu di sini, aku telepon ambulans!” lalu aku terburu-buru menuruni tangga, menuju telepon. Tanganku gemetar dan suaraku bergetar saat berbicara di telepon.
                10 menit kemudian, ambulans telah datang. Dalam kepanikan aku berusaha tenang, kuambil napas berkali-kali, namun gagal. Mom, Dad, dan Sevierre dibawa ke rumah sakit. Aku dan Gabriel turut serta dalam mobil yang lain.
                Sepanjang jalan aku menangis, aku bingung dan shock, siapa yang melakukan ini? Gabriel terlihat lesu, namun dia berusaha menghiburku. Percuma.
                Sesampainya di rumah sakit, Sevierre dibawa ke ruang UGD. Sedangkan Mom dan Dad?
                Dokter bilang, kami telah terlambat. Mom dan Dad telah kehilangan banyak darah. Mereka dibunuh. Tulang lehernya patah, kulit mereka disayat-sayat dan ditetesi perasan jeruk nipis, dan paru-parunya ditusuk berkali-kali. Aku terkulai lemas, tenagaku habis. Aku tak bisa lagi menjerit dan menangis. Mataku kosong, tanpa cahaya. Cahaya hidupku kini telah pergi.


               

Sevierre beruntung masih selamat. Kepalanya dibenturkan berkali-kali ke dinding. Di paha dan lengannya terdapat bekas sayatan memanjang, namun untunglah dia masih hidup. Hanya dia satu-satunya yang kupunya, setelah kedua cahaya hidupku pergi.
               
                Aku dan Gabriel masuk kamar Sevierre dirawat. Kulihat ia terbaring di sana, matanya terpejam. Luka-lukanya telah dibalut, detak jantungnya stabil, dengan alat pernapasan pada hidungnya. Aku terduduk di sofa. Mataku tertutup, aku pusing dengan semua keadaan ini. Gabriel merangkulku, ia hanya diam. Membiarkanku menangis dan menangis.

                Indonesia, Februari 2009..

                Aku cuti kuliah dan pulang ke Indonesia. Di sini aku bersimpuh di batu nisan orangtuaku. Semenjak mereka pergi, hidupku rasanya tak sama lagi. Kosong. Sekeras apapun kucari orang lain untuk menggantikan mereka, aku selalu gagal. Kekosongan ini terlalu luas. Dan luka ini, terlalu dalam.
                Mungkin luka di kulit bisa dijahit dan kering, tapi luka di hati, tak akan pernah kering, terutama jika tidak dijahit.


                 Oktober 2009..

                “Clavel, kuliahmu akan kau lanjutkan?” Sevierre bertanya padaku, saat kami sedang menikmati makan siang di BSM.
                Aku diam. Memikirkan apa yang telah terjadi selama ini. Kuhela napas panjang, “Aku tidak tahu.”
                Sevierre meneguk milkshakenya. “You have to. Mom dan Dad pasti tidak suka kuliahmu berantakan.”
                Teringat akan mom dan dad, emosiku meluap. “Peduli setan! Mereka sudah tidak ada Sev! Mati! M-A-T-I! apa gunaku kuliah jika bahkan saat wisuda mereka tidak ada?!” air mataku merebak, tak mampu lagi kutahan.
                “Lagi pula aku tak mampu membayar kuliahku..” aku memegangi dadaku. Sakit. Seperti tersayat. Sebenarnya aku ingin meneruskan kuliahku. Aku ingin kembali ke London. Namun apa dayaku. Kenyataan pahit yang datang di usia muda memang sulit diterima.
                “Aku tahu di mana ayah dan ibu menyimpan uang untuk pendidikan kita. Lagi pula, aku masih mempunyai cukup uang untuk kuliahmu.” Sevierre berkata santai.
                Lagi-lagi aku menghela napas, “Aku masih bingung Sev, rasanya semangat hidupku telah hilang.”
                “Kau tahu, lanjutkanlah kuliahmu. Dan, oh ya, ingatlah, kau masih mempunyai teman. Ingat Gabriel, bukan? Sudah setahun ini kau tak bertemu dengannya.”
                Aku tertegun. Gabriel Yamaguchi…



Jumat, 11 Februari 2011

Untitled

                
Aku Clavelia. Clavelia Alif Armany. 19 tahun, kuliah di Cambridge University. Blasteran Sunda-Arab-Inggris. Aku lahir di Indonesia, tepatnya di Bandung. Setamat SMA, aku meneruskan kuliahku di tanah kelahiran ayah. Dari sini, aku memulai petualanganku, tragedi, cinta, dan perjuangan.




London, 12 September 2008

“Lunch time, Clavel?” tanya Gabriel, teman kuliahku.
“Nope. Aku masih harus mengejar dosen, aku dapat D untuk fisika. Menyebalkan rasanya harus mengulang mata pelajaran itu.” kataku sambil menggerutu.
Gabriel tertawa, tawa renyah yang menyenangkan. “Siapa dosenmu?” ia bertanya.
“Mr. Schneidzert. Menyebutkan namanya saja aku susah. Ah menyebalkan sekali.”
“Dia? Semoga beruntung Clavel, kudengar dia lebih parah dari Voldemort. Hati-hati saja.” Cetus Gabriel dalam sorot mata yang jenaka.
Aku tertawa, “Tenang saja, I will survive. Aku harus pergi, sampai jumpa nanti.”
Aku melambaikan tangan tanpa menoleh padanya, dan langsung pergi ke ruangan dosenku yang menyebalkan itu.



Gabriel Yamaguchi. Teman kuliahku, sekaligus orang yang diam-diam kusuka. Kami bertemu di taman sekitar rumahku. Saat itu buku novelku terjatuh ke danau dan mengapung agak jauh dari tempatku berdiri. Novel itu sangat kusuka, memberi inspirasi untukku. Sayang rasanya jika hilang.
Di tengah kebingungan itu, aku hampir menangis. Untunglah, saat itu Gabriel melihatku dan menolong mengambil novelku. Aku berterimakasih padanya dengan mata yang berkaca-kaca. Dia tertawa dan bertanya, “Kau orang Indonesia?” padaku. Aku terkejut, “Bagaimana kau bisa tahu?”. Tentu saja, aku sama sekali tidak mirip orang Indonesia (setidaknya itu kata kakakku, Sevierre).
Dia tertawa mendengar pertanyaanku, “ Buku itu diterbitkan di Indonesia, aku pernah membacanya. Inspiratif sekali bukan?” katanya dalam bahasa Indonesia.
Aku takjub. “Siapa kau? Kau bisa sefasih ini berbahasa Indonesia? Wow.”
Dia menyunggingkan senyum miring, “Gabriel, Gabriel Yamaguchi. Tentu saja aku bisa berbahasa Indonesia. Dulu aku besar di sana, sejak aku SD sampai SMA kelas 2.”
“Di Indonesia? Di mananya?” aku benar-benar penasaran pada orang ini.
“Jakarta. Gue juga bisa bahasa anak gaul brooo!”
Aku tergelak, orang ini menyenangkan. “Bisa juga lu? Gue kira lu Cuma bisa bahasa baku, ga nyangka gue sumpah dah!”
Lalu kami saling bertukar alamat email, dan berbincang akrab seperti kawan lama yang tak bertemu.




Telepon genggamku berbunyi, tampak di layar tertera nama Sevierre. Buru-buru kuangkat teleponnya.
“Halo?” sapaku.
Clavel? Di mana kau?” terdengar suara dalam Sevierre.
“Aku di kampus. Ada apa?”
“Kujemput oke? Oh sh*t! Hey! Cepatlah jalan!” kudengar ia memaki dan terdengar bunyi klakson panjang.
“Oh no, nope. Aku bareng Gabriel dan Mary. Kau di mana?”
“Pennington Avenue. Cepat pulang, mom dan dad menunggumu di rumah.”
“What? You kidding me!” aku memekik senang.
“Check it yourself sist. Bye, gotta go. Kutunggu kau. Ajak Mary dan Gabriel untuk makan malam bersama kita.” Dan telepon ditutup.
Aku memekik girang, langsung mencari Gabriel dan Mary di ruang auditorium.
“Mary! Ayo kita cepat pulang!” ujarku bersemangat.
“Ssst, tunggu dulu, Mary masih harus menyelesaikan soal yang satu ini.” Gabriel buka suara, mengingatkanku.
“Oh, sorry. Baiklah, kutunggu kalian. Jika sudah selesai, kontak aku. Aku ke kafetaria dulu.”
Gabriel mengacungkan jempolnya tanda mengerti.

Kafetaria masih penuh, kuputuskan untuk makan sandwich dan kola. Kucari bangku kosong yang dekat jendela, kutemukan satu, dan strategis sekali untuk mengawasi orang yang datang. Kulahap sandwichku pelan-pelan, sambil membaca diktat kuliah untuk esok.
20 menit kemudian kurasakan pundakku di tepuk, Gabriel telah duduk di hadapanku.
“Mana Mary?” tanyaku.
“Dia membatalkan niatnya pulang bersama kita. Pacarnya menjemputnya.”
“Oh. Kalau begitu, ayo pulang. Eh, orangtuaku sedang di sini, dan mereka mengadakan makan malam. Join us?”
Dia tersenyum, “tentu saja.”
               

                “Mom, Dad, aku pulang.” Kataku sesampainya di rumah. TV dan DVD masih menyala, menampakkan sinar biru statis. Air di kran dapur mengalir, membanjiri wastafel dan lantai. “Mom? Kenapa kau tidak mematikan kran ini? Mom?” Aku memanggil dengan suara kencang.
                Tak terdengar suara.
                “Mom.. Dad?” kupanggil ulang mereka.
                “Mana mereka?” tanya Gabriel.
                “Aku tak tahu.. ini tak seperti biasanya.”
     Kucoba mencari mereka ke ruang atas. “Mom? Dad? Sevierre?”
     Aku menaiki tangga, membuka pintu kamar Sevierre.
                Nihil.
                Kucoba lagi di kamar mandi, hanya ada sendal Mom.
                Aku mulai khawatir. Kucari mereka. Gabriel berlari-lari mengikuti di belakangku. Napasku memburu, air mataku merebak. Semua ruangan kubuka. Hingga sampai di ruangan aku
menyimpan alat-alat kebersihan, aku menjerit keras-keras.
                3 tubuh berlumuran darah terkulai jatuh di hadapanku.













*bersambung hehe.
Maaf ya kalau jelek, cuma pengen bikin cerbung aja, maklum masih pemula -,-
maaaaaaf sekali lagi =)

Minggu, 06 Februari 2011

OXYGEN keur riweuh

oxigen lagi rameee bgt di kelas,ngga ada guru sih :D

keur raribut,ngarobrol,maraen laptopp,sagalaa :D