Aku Clavelia. Clavelia Alif Armany. 19 tahun, kuliah di Cambridge University. Blasteran Sunda-Arab-Inggris. Aku lahir di Indonesia, tepatnya di Bandung. Setamat SMA, aku meneruskan kuliahku di tanah kelahiran ayah. Dari sini, aku memulai petualanganku, tragedi, cinta, dan perjuangan.
London, 12 September 2008
“Lunch time, Clavel?” tanya Gabriel, teman kuliahku.
“Nope. Aku masih harus mengejar dosen, aku dapat D untuk fisika. Menyebalkan rasanya harus mengulang mata pelajaran itu.” kataku sambil menggerutu.
Gabriel tertawa, tawa renyah yang menyenangkan. “Siapa dosenmu?” ia bertanya.
“Mr. Schneidzert. Menyebutkan namanya saja aku susah. Ah menyebalkan sekali.”
“Dia? Semoga beruntung Clavel, kudengar dia lebih parah dari Voldemort. Hati-hati saja.” Cetus Gabriel dalam sorot mata yang jenaka.
Aku tertawa, “Tenang saja, I will survive. Aku harus pergi, sampai jumpa nanti.”
Aku melambaikan tangan tanpa menoleh padanya, dan langsung pergi ke ruangan dosenku yang menyebalkan itu.
Gabriel Yamaguchi. Teman kuliahku, sekaligus orang yang diam-diam kusuka. Kami bertemu di taman sekitar rumahku. Saat itu buku novelku terjatuh ke danau dan mengapung agak jauh dari tempatku berdiri. Novel itu sangat kusuka, memberi inspirasi untukku. Sayang rasanya jika hilang.
Di tengah kebingungan itu, aku hampir menangis. Untunglah, saat itu Gabriel melihatku dan menolong mengambil novelku. Aku berterimakasih padanya dengan mata yang berkaca-kaca. Dia tertawa dan bertanya, “Kau orang Indonesia?” padaku. Aku terkejut, “Bagaimana kau bisa tahu?”. Tentu saja, aku sama sekali tidak mirip orang Indonesia (setidaknya itu kata kakakku, Sevierre).
Dia tertawa mendengar pertanyaanku, “ Buku itu diterbitkan di Indonesia, aku pernah membacanya. Inspiratif sekali bukan?” katanya dalam bahasa Indonesia.
Aku takjub. “Siapa kau? Kau bisa sefasih ini berbahasa Indonesia? Wow.”
Dia menyunggingkan senyum miring, “Gabriel, Gabriel Yamaguchi. Tentu saja aku bisa berbahasa Indonesia. Dulu aku besar di sana, sejak aku SD sampai SMA kelas 2.”
“Di Indonesia? Di mananya?” aku benar-benar penasaran pada orang ini.
“Jakarta. Gue juga bisa bahasa anak gaul brooo!”
Aku tergelak, orang ini menyenangkan. “Bisa juga lu? Gue kira lu Cuma bisa bahasa baku, ga nyangka gue sumpah dah!”
Lalu kami saling bertukar alamat email, dan berbincang akrab seperti kawan lama yang tak bertemu.
Telepon genggamku berbunyi, tampak di layar tertera nama Sevierre. Buru-buru kuangkat teleponnya.
“Halo?” sapaku.
“Clavel? Di mana kau?” terdengar suara dalam Sevierre.
“Aku di kampus. Ada apa?”
“Kujemput oke? Oh sh*t! Hey! Cepatlah jalan!” kudengar ia memaki dan terdengar bunyi klakson panjang.
“Oh no, nope. Aku bareng Gabriel dan Mary. Kau di mana?”
“Pennington Avenue. Cepat pulang, mom dan dad menunggumu di rumah.”
“What? You kidding me!” aku memekik senang.
“Check it yourself sist. Bye, gotta go. Kutunggu kau. Ajak Mary dan Gabriel untuk makan malam bersama kita.” Dan telepon ditutup.
Aku memekik girang, langsung mencari Gabriel dan Mary di ruang auditorium.
“Mary! Ayo kita cepat pulang!” ujarku bersemangat.
“Ssst, tunggu dulu, Mary masih harus menyelesaikan soal yang satu ini.” Gabriel buka suara, mengingatkanku.
“Oh, sorry. Baiklah, kutunggu kalian. Jika sudah selesai, kontak aku. Aku ke kafetaria dulu.”
Gabriel mengacungkan jempolnya tanda mengerti.
Kafetaria masih penuh, kuputuskan untuk makan sandwich dan kola. Kucari bangku kosong yang dekat jendela, kutemukan satu, dan strategis sekali untuk mengawasi orang yang datang. Kulahap sandwichku pelan-pelan, sambil membaca diktat kuliah untuk esok.
20 menit kemudian kurasakan pundakku di tepuk, Gabriel telah duduk di hadapanku.
“Mana Mary?” tanyaku.
“Dia membatalkan niatnya pulang bersama kita. Pacarnya menjemputnya.”
“Oh. Kalau begitu, ayo pulang. Eh, orangtuaku sedang di sini, dan mereka mengadakan makan malam. Join us?”
Dia tersenyum, “tentu saja.”
“Mom, Dad, aku pulang.” Kataku sesampainya di rumah. TV dan DVD masih menyala, menampakkan sinar biru statis. Air di kran dapur mengalir, membanjiri wastafel dan lantai. “Mom? Kenapa kau tidak mematikan kran ini? Mom?” Aku memanggil dengan suara kencang.
Tak terdengar suara.
“Mom.. Dad?” kupanggil ulang mereka.
“Mana mereka?” tanya Gabriel.
“Aku tak tahu.. ini tak seperti biasanya.”
Kucoba mencari mereka ke ruang atas. “Mom? Dad? Sevierre?”
Aku menaiki tangga, membuka pintu kamar Sevierre.
Nihil.
Kucoba lagi di kamar mandi, hanya ada sendal Mom.
Aku mulai khawatir. Kucari mereka. Gabriel berlari-lari mengikuti di belakangku. Napasku memburu, air mataku merebak. Semua ruangan kubuka. Hingga sampai di ruangan aku
menyimpan alat-alat kebersihan, aku menjerit keras-keras.
3 tubuh berlumuran darah terkulai jatuh di hadapanku.
*bersambung hehe.
Maaf ya kalau jelek, cuma pengen bikin cerbung aja, maklum masih pemula -,-
maaaaaaf sekali lagi =)