Sabtu, 12 Februari 2011

Untitled #3

*sebelumnya bisa dilihat di http://historylifeofoxygen.blogspot.com/2011/02/untitled-2.html



                London, Desember 2009..
               
                Atas saran Sevierre, aku kembali ke London meneruskan kuliahku. Rumahku yang di sini kujual, dan uangnya kupakai untuk biaya hidupku. Kini aku tinggal di sebuah rumah kecil yang benar-benar minimalis. Aku tak peduli.
                Aku merindukan Gabriel dan Mary. Setelah aku selesai memindahkan barang-barang ke rumah baruku, aku langsung menelepon mereka. Mereka memekik sangat girang, dan berjanji akan ke rumah baruku secepatnya.
                Kedatangan mereka membawa sedikit warna untukku. Mary membawa banyak cerita lucu yang bisa membuatku tertawa. Aku benar-benar merindukan mereka. Terutama Gabriel. Tawanya, senyumnya, matanya yang jenaka. Tuhan, aku benar-benar merindukan Gabriel Yamaguchi dan Mary Anoiselle.



                Tahun baru ini kulewatkan dengan merenung di kafe. Kuperhatikan banyak orang yang tertawa-tawa di luar maupun di dalam kafe. Aku berfikir, bagaimana jika esok masa hidup mereka habis? Bagaimana jika mereka pergi dengan tragis, seperti orangtuaku? Apa tawa ini masih mereka rasakan? Gembira ini?
                Kita tak pernah tahu.


               
Februari, 2009..

                “Sevierre, aku ingin menyelidiki siapa pembunuh Mom dan Dad.” Kataku suatu ketika saat makan siang di Deff’s Fish and Chips.
                Sevierre tampak bingung, “Untuk apa?”
                Aku mengangkat bahu, “Hanya ingin tahu.”
                “Lalu?”
                “Jika kutemukan siapa orangnya, aku janji, dia akan mendapat balasan yang setimpal. Aku akan minta bantuan Gabriel dan Mary. Mereka sudah kuberi tahu rencana ini.” Sahutku tegas.
                “Aku lelah mengurusi semua ini. Kenapa tak kau terima saja kenyataan ini? Orang tua kita telah meninggal. Lalu apa? Jangan hidup dalam fantasi, hiduplah dalam realita. Sudahlah, aku lelah membicarakan tentang kematian mereka.” Sevierre merengut dan meninggalkan kursi yang tadi didudukinya.
                Kursi itu kini kosong.
                Tunggu, apa itu?
                “Apa ini?” gumamku sambil mengambil kertas usang itu. Tertulis sebuah alamat email yang tak kukenal. Bukan alamat email Sevierre. Kuambil kertas itu, dan beranjak dari Deff’s Fish and Chips.




                Sementara itu di Plaza Hotel, seorang pria sedang berbicara pada seorang wanita di telepon.
                “Apa yang akan dia lakukan?” Tanya si pria.
                “Kurasa ia akan menyelidikinya,” jawab suara di telepon itu.
                “Dari mana kau tahu?”
                “Koneksiku banyak, kurasa kau tahu.”
                Pria itu menghisap cerutunya dalam-dalam, “Gagalkan dia.”
                “Tidak semudah itu. Akan mencurigakan jika aku menempel padanya seharian.”
                “Kau mengerti apa itu mata-mata tidak sih?” pria itu tampak kesal.
                “Ck. Jangan remehkan kemampuanku. Baiklah, kuusahakan semampuku.”
                “Bunuh dia.” Dan telepon ditutup.
                Tinggal wanita itu memegang teleponnya dalam diam.




                Sesampainya di rumah, aku langsung menyalakan laptopku. Kubuka account email Sevierre, ada beberapa email dari seseorang yang tak kukenal. Seseorang yang mempunyai alamat email seperti yang kupegang.
                Amora, Dear. Saat kedua lonceng berbunyi 4 kali di saat langit merah, kuda putih dan pangeran akan berlari menuju istana.
                Sebelum pangeran dan kuda putih kembali ke istana, bawalah raja dan ratu menuju kamar rahasia, berikanlah mereka panah terbaik. Teteskan air suci di tubuh mereka, agar mereka tenang di kamar rahasia. Cepatlah, jika kau terlambat, Tuhan mencabut nyawamu dan panah terbaik menusuk pedih sang pengelana.

                “Apa maksudnya?” tanyaku heran. Pangeran? Kuda putih? Apa maksud isi email ini?
Aku mendekatkan wajahku pada monitor, mencoba melihat apakah ada sandi tertentu di dalam kalimat-kalimat tersebut.
                Tak kurasakan seseorang mendekatiku. Tak juga kusadari keberadaannya saat ia memukulkan besi di tengkukku.
Mataku berkunang-kunang, seketika aku tersungkur.
Gelap.
                

Tidak ada komentar:

Posting Komentar